- Back to Home »
- Cerpen »
- Kabut Pulau Tanpa Nama
Posted by : Unknown
Kamis, 09 Oktober 2014
Hari ini rencana anak-anak untuk menyeberang ke pulau
kecil tanpa nama itu batal total. Dengan sangat terpaksa mereka tidak
jadi pergi ke sana, pasalnya air laut sedang pasang. Dan pulau tersebut
tampak nyaris tenggelam ditelan air laut.
Sandra memjamkan matanya. Sambil menghela napas pelan. “Kamu nggak apa-apa San?” Tak tau pundak Sandra disentuh lembut. Sandra kaget kecil. Gala. “I’m okey…” Sahut Sandra pelan. “Mau pinjam teropong?” Gala menyodorkan teropongnya. “Pulau itu tinggal seperempat kini.”
Tanpa berkata apa-apa Sandra meraih teropong itu. Lalu mengarahkannya pada pulau tanpa nama. Gala yang ada di sampingnya memandangi gadis itu dengan lembut. Saat angin laut membuat rambut Sandra menutupi wajah ayunya, Gala dengan tangan kanannya merapikan rambut gadis itu. Tentu saja Sandra jadi kaget.
Namun Gala malah tersenyum lembut “Kamu… Kamu manis banget…” Sandra lebih kaget lagi. “A-ap-apa maksudmu?” Gadis itu tergagap. Wajahnya merah. Gala makin melebarkan senyum kerennya. Lalu menggeleng. “Ah enggak kok, saya cuma suka melihatmu dalam keadaan seperti sekarang ini.” “Emangnya kenapa?” “Nggak pa-pa.” “Kenapa sih?” “Mm, manis…” “Oh ya?” “Iya.” “Bener?” “Sumpah!” Sekarang gentian Gala yang memerah wajahnya. Anak itu sempat tersipu. Dan Sandra tersenyum melihat cowok itu jadi salah tingkah.
“Ah Gala, rupanya kamu baru tau ya kalau aku manis? Dari dulu aku sudah manis, kok. Kamu aja yang enggak merhatiin.” Sandra malah menggoda Gala. “Siapa bilang aku enggak merhatiin kamu?” Entah bagaimana Gala bisa kelepasan ngomong kayak gitu. “Oh ya?” Sandra surprise banget. “Benarkah kamu merhatiin aku?” Gala agak salah tingkah. “Ng, yah…terus terang iya.”
Ada gemuruh di dada Sandra. Sekuat tenaga ia menahan gejolak di relung-relung hatinya yang paling dalam. Gejolak yang sanggup membuat rona merah di pipinya yang ranum. Tapi ia tetap berusaha untuk tidak ge-er dulu. Sesaat Sandra tak bisa ngomong apa-apa. Gala apalagi. Lalu cowok itu menunduk. “San, saya…” “Apa?” Sandra sempat dag dig dug. Duh apa ini saatnya dia mengucapkan kata-kata klise itu? Apa sekarang? Waduh, gimana ya? “Ng…” Tiba-tiba penduduk setempat datang menghampiri tempat itu, dan mengangguk pada Gala dan Sandra.
“Selamat pagi,” ucap seorang laki-laki yang memakai topi nelayan. “Maaf kami ini adalah wakil dari para nelayan di sini, yang mau mengucapkan banyak terima kasih pada adik-adik sekalian. “Iya, kami mau berterimakasih sambung yang satunya lagi, yang memakai kaos garis-garis merah, sambil mengangguk hormat. Gala dan Sandra sempat kaget kecil. “Mau berterimakasih? Ng berterimakasih untuk apa, Pak? Bukankah kita belum pernah bertemu sebelumnya?” “Begini, Dik. Selama ini kami para nelayan di sini selalu ketakutan karena ulah para penyelundup itu. Karena mereka itu sering merampas ikan-ikan hasil tangkapan kami, yang susah payah kami peroleh di tengah laut. Mereka sebenarnya perompak alias bajak laut. Apa yang kami miliki selalu dirampas secara paksa. Jadi kami merasa tidak aman mencari ikan di laut.” Papar lelaki bertopi itu.
Bersamaan dengan itu, Ali, Rio, dan Lita datang mendekat. Membaur dengan mereka. “Tapi syukur Alhamdulillah, mereka semua tertangkap polisi, Insya Allah kehidupan kami jadi aman. Dan untuk itu, kami berterimakasih pada adik-adik yang telah bekerja sama dengan polisi meringkus mereka.”
“Iya, Dik. Dan sebagai ucapan terimakasih, terimalah cemeti ini sebagai kenang kenangan…” Yang memakai baju garis-garis merah itu mengeluarkan sebuah cemeti dari dalam tas yang sejak tadi dibawanya. Lalu diserahkan-nya pada Gala.
Gala menerima cemeti itu dengan senang. Indah sekali cemeti tradisional itu, gagangnya ada pernak pernik warna perak dan biru, Jika dipecutkan di udara, akan menimbulkan suara ledakan yang cukup sangar. Tar-tar-tar! Gala ce-es berterimakasih atas pemberian tersebut. Mereka saling bersalaman dan empat nelayan itu pamit pulang.
Di rumah bibi, saat Sandra ce-es mau pamit pulang ke Surabaya, ternyata paman sudah pergi ke Sampang untuk membeli makanan udang. Dan paman menitipkan sepucuk surat untuk Sanda. Bibi menyerahkannya pada Sandra. Buru-buru Sandra membacanya. Sendirian.
Buat Ananda Sandra…
San, maaf paman harus keluar kota untuk mengurusi tambak udang paman. Jadi tidak bisa mengantar Sandra dan teman-teman. San, paman bangga mempunyai keponakan sepertinmu. Pintar, kreatif, gesit, berpikiran luas dan cantik. Ah, andai saja paman mempunyai keponakan sepertimu. Betapa senangnya hidup paman dan bibi. Sandra, paman amat berterimakasih atas nasehatmu tadi malam. Itu adalah hal yang amat berarti bagi pamanmu ini. Kamu telah menyadarkan paman dari kekeliruan yang selama ini paman jalani. Terimakasih, San. Paman bangga padamu… Salam buat papa dan mama, juga teman-temanmu.
Pamanmu, Iqbal.
Sandra melipat surat itu. Hatinya biru, matanya sayu. “Hei, San! Jadi pulang, nggak?” teriak Rio tau-tau dari balik pintu. Sandra buru-buru menyimpan surat itu di saku celananya. “Jadi dong! Emangnya kamu kagak mau pulang?” “Iya, sih. Asal sama kamu.” Seloroh Rio. “Dih.” “Lho kok dih?” “Soalnya enak di kamu, eneg di aku!” “Hahahahaha…” Rio cekakakan kayak drakula. Sementara di teras depan telah menunggu Gala, Ali dan Lita yang udah siap hengkang dari sini. Anak-anak mencium tangan bibi dan meninggalkan rumah bibi diiringi lambaian tangan. Sampai kendaraan itu hilang di tikungan.
Kapal penyeberangan Trunojoyo telah meninggalkan pelabuhan Kamal sepuluh menit lalu. Kini telah berada di tengah selat Madura. Menyeberang menuju pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Deru mesin terdengar membaur dengan ombak yang tersibak. Mata Sandra menatap kosong laut lepas. Sementara Gala masih asyik dengan teropongnya. Sedang Ali dan Lita berada di ruang duduk sambil nonton tv.
“Kok ngelamun, San?” Tau-tau Rio sudah berdiri di sebelah Sandra memandangi wajah polos gadis itu. Sandra menoleh sekilas. Lalu menggeleng sambil menghela napas panjang. “Aih-aih ada apa, Sayang?” hibur Rio sambil mengulas senyum jenakanya. “Sayang gombalmu!” Sahut Sandra sebel. Rio ngikik kayak jangkrik. “Ah taukah kamu, San. Hati ini rasanya pilu jika melihat kamu sedih seperti ini.” Kata Rio sok puitis.
“Rio-Rio, kamu ini ngomong apa cuci piring, sih? Kok asal tancep aja?” sungut Sandra. “Eits, aku serius, San!” “Gombal!” “San…” “Hmm” “Salahkah, San…” “Salah!”
“Ck, ngomong aja belum!” sungut Rio lucu. Sandra mesem. “Apa sih?” “Terus terang, San…” “Philips terang terus.” “Duh, San kamu diem dulu dong! Aku mau ngomong nih!” “Iya deh, iya. Kamu mau ngomong apaan?” “Ng, begini, San. Saya sebenarnya menyimpan sesuatu buat kamu.” Suara Rio tak sejenaka tadi. Ada raut serius di wajahnya. “Oh ya? Kamu menyimpan buat saya? Sulit dipercaya!” Sandra tampak surprise banget. “Di bank mana Rio? Berapa jumlah simpananmu itu?” Rio melengos keki. Menatap Sandra sebal. “Kamu ini senewen apa saraf sih, San?”
Sandra tertawa renyah. Memamerkan sederet giginya yang putih bagai mutiara. “Kamu aneh Rio!” “Aneh? Apa aneh jika ada cowok menyukai cewek, San? Apa aneh jika aku mencintaimu dan ingin seiring sejalan denganmu, San?” Sandra langsung diam seribu bahasa, menatap Rio lekat-lekat. Wajahnya memanas. “Kamu… serius, Rio?” “Serius! Bahkan dua rius!” Sahut Rio tegas. Sandra menghela napas. Angin laut mempermainkan rambutnya. Sejenak mereka saling diam. Sampai akhirnya Sandra berbicara pelan. Pelan sekali. Seperti berbicara dengan dirinya sendiri.
“Rio, selama ini kita telah berteman dan bersahabat. Kita telah berbagi suka dan duka. Kita telah jalani bersama. Dan terus terang Rio, saya ingin hubungan kita yang seperti ini berlangsung selamanya. Saya ingin bersahabat denganmu selamanya.” Sandra membuang pandangannya ke laut lepas. “Jadi kamu… kamu menolakku, San?” Ada sesuatu yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata di wajah cowok itu. “Yah, kamu bisa membuat kesimpulan sendiri.” Sakit sekali. Rio teramat kecewa. “Ada cowok lain di hatimu?” Sandra menunduk lalu mengangguk.
Sebuah mercusuar kecil baru saja terlewati. Sementara kapal terus melaju. “Siapa cowok itu, San? Damon?” Sandra menggeleng. “Angga?” Sandra menggeleng lagi. “Kevin?” Lagi-lagi Sandra menggeleng. “G-gala?” Sandra kini diam. Benarkah dia, San? Gala, kan?” Sandra kembali menghela napas. Lalu mengangguk kecil. Dan itu adalah jawaban untuk Rio.
Ada sesuatu yang runtuh di hati Rio, sesuatu yang telah dibangunnya sejak lama. Sesuatu yang menjulang tinggi di angkasa. Tapi kini harus porak poranda. Puing-puingnya berserakan. Dan itu teramat menyakitkan. Untuk beberapa saat keduanya membisu. Mereka sibuk dengan apa yang ada di benaknya masing-masing dan hanyut dalam alam pikirannya.
Sebuah perahu nelayan melintas dari kejauhan. Perahu itu terombang-ambing oleh besarnya ombak. Namun keseimbangannya yang membuat tetap berada di atas air. Seperti kita juga, yang kadang kala harus menghadapi ombak dan badai dalam kehidupan ini. Kita hanya butuh keseimbangan yang kuat agar kita tak terombang-ambing dan tak tenggelam dihantam badai.
“Wah, rupanya di sini ada lomba melamun.” Tau-tau Gala sudah berdiri di dekat situ. Lalu mengambil tempat pas di samping Sandra. Rio tau diri. Dia segera mundur teratur. Namun sebelum berlalu dia sempat menepuk pelan pundak Gala. “Selamat ya! Jaga Sandra baik-baik!” Tentu saja Gala heran dengan Rio. “Apa maksud anak itu, San?” Gala tak menutupi rasa herannya, sepeninggal Rio. Sandra cuma mengangkat bahu yang berarti ‘nggak tau’. “Tanya aja sama dia.” Ujar Sandra. “Kelihatannya sedih amat tuh anak.” gumam Gala. “Kalian ngobrolin apaan?” Sandra tak menjawab. Membiarkan Gala mereka-reka sendiri. “Aha, aku tau, kamu pasti habis nolak Rio, ya?” Gala tersenyum memandangi wajah gadis manis itu.
Sandra tak tau harus bagaimana. Ia nggak bisa bohong di depan cowok satu ini. “Kasihan si Rio. Kenapa nggak kamu terima aja, San?” gumam Gala pelan. Sandra mendengus sebel. “Aku menolaknya karena aku telah mencintaimu!” Hampir saja Sandra nekat menjeritkan kalimat itu kepada Gala. Namun itu tak dilakukannya. Hanya dalam hati saja. “Kamu kan tau sendiri, selama ini aku selalu menganggap sahabat pada Rio, jadi mana mungkin akan menerima cintanya?” Sandra memaparkan alasannya.
Gala tersenyum keren. “Lalu kamu juga menganggap sahabat padaku, San?” “Iya, San?” Sandra menghela napas. Ada rona merah yang menghiasi pipi ranumnya. “Entahlah.” “Apakah kamu juga akan menolakku seperti menolak Rio, San? Lalu berapa cowok lagi yang harus bertekuk lutut di depanmu? Berapa cowok lagi yang harus sakit dan kecewa, San? Apakah kamu memang sengaja begitu? Biar dapat menaklukkan para cowok satu demi satu? Iya?”
“Cukup, Gala!” sentak Sandra dengan mata berkaca-kaca. Ada sesuatu yang bening di kelopak matanya. “Tega benar kamu bicara macam itu padaku! Aku nggak nyangka kamu punya pikiran seburuk itu!” Gala terkesiap. “Maafkan aku, San. Maaf, aku jahat sekali.” Sandra membuang pandangannya ke laut lepas. Menyembunyikan sepasang matanya yang basah.
“Sorry, San. Aku bicara seperti tadi karena aku tak ingin mengalaminya juga. Aku takut merasa sakit dan kecewa sama seperti cowok-cowok yang sudah kamu tolak. Karena itu amat menyakitkan sekaligus memalukan. Padahal aku… aku amat menyayangimu, San.” Pelan dan lembut suara Gala, membuat Sandra tergugu. Dibiarkannya Gala memegang jemarinya. Hanya sesaat. Lalu Sandra berusaha menarik jemainya dari genggaman tangan Gala.
Kalau saja perasaan Sandra tidak sedang sebal, tentu dia akan menikmati saat-saat indah ini, berduaan dengan Gala di atas kapal dengan pemandangan laut lepas yang damai. Sambil bergenggaman tangan. Namun perasaan Sandra sedang jengkel, sebel, campur mangkel. Dan yang membuatnya begitu adalah Gala sendiri. Maka ia memilih diam saat Gala mengutarakan perasaanya. Dia sengaja tak memberikan jawaban.
Padahal Sandra telah menyimpan jawaban sejak lama. Biarlah, biarlah hanya diam. Biarlah Gala mereka-reka sendiri. Biarlah cinta itu tak berkepastian. Biarlah dua hati tak harus menyatu. Biarlah camar-camar terbang bebas melanglang buana di atas samudra. Biarlah…
Sandra yakin, jodoh itu pasti ada. Dan jodoh itu tidaklah sama dengan pacar. Kalau pacar masih mempunyai banyak kemungkinan, tapi kalau jodoh itu hanya satu kemungkinan terakhir. Love Forever. Dan itu tidak bisa dipungkiri lagi. Biarlah tak perlu menerima Gala untuk saat ini. Kalau memang jodoh, pasti nggak akan ke mana-mana. Pasti bersatu juga. Meski tidak harus saat ini. Biarlah…
Peluit kapal berbunyi panjang. Terasa sebentar lagi kapal ini akan merapat di bibir dermaga Tanjung Perak Surabaya. Para penumpang bersiap-siap mendarat. Sandra ce-es pun siap melompat. Welcome to Surabaya…
Cerpen Karangan: Lena Sutanti