- Back to Home »
- Artikel »
- Berdiskusi Secara Positif dengan Komentar yang Sehat dan Bermutu
Posted by : Unknown
Minggu, 07 Desember 2014
Hari ini adalah hari pertama saya di Kompasiana
di mana saya “didatangi” seseorang dengan komentar yang “sungguh
terlalu”..hahahah. Karena itu, saya terpikir untuk memosting mengenai
topik seperti yang tertera pada judul di atas. Sebenarnya, topik ini
sudah beberapa waktu lalu terpikir untuk ditulis. Hanya saja, pengalaman
hari ini membuat saya semakin merasa tak usah menunda lagi.
Berkait topik tersebut, saya akan mengemukakan beberapa pokok praktis
untuk dipertimbangkan bersama. Arah spesifik dari pokok-pokok praktis
ini adalah interaksi dalam bertukar komentar. Jadi, saya tidak akan
menyinggung soal bagaimana menulis postingan dalam bentuk opini atau pun
reportase.
Semua yang akan saya kemukakan berikut ini, semata-mata didasarkan atas pengalaman atau pun berdasarkan pertimbangan logis. Termasuk juga, ini bukan merupakan daftar lengkap dari hal-hal praktis yang perlu diperhatikan saat bertukar komentar.
1. Baca dan pahamilah klaim serta argumen-argumen penulis berkait isu spesifik yang dibahas dalam sebuah lapak. Sebuah tulisan yang baik, khususnya yang berbentuk opini, sudah seharusnya berisi minimal sebuah klaim yang disertai argumen-argumen. Klaim adalah sebuah kalimat proposisional yang berposisi sebagai kesimpulan. Sementara argumen adalah kalimat-kalimat proposisional yang berfungsi sebagai alasan-alasan bagi kesimpulan tersebut. Dalam bentuknya yang formal, sebuah klaim atau kesimpulan biasanya ditandai dengan kata: “karena itu” atau “dengan demikian”. Sementara argumen-argumen, biasanya disertai dengan: “karena” atau “sebab”. Kadang-kadang seorang penulis tidak memberikan clue berupa kata-kata di atas. Dan bila demikian, kita mesti lebih teliti lagi mengidentifikasi mana yang merupakan klaim dan mana yang merupakan argumennya.
Perlu diingat bahwa aspek paling penting yang seharusnya kita tanggapi adalah argumen-argumen, bukan klaim. Itulah sebabnya, baik penulis maupun komentator seharusnya tidak sekadar melontarkan klaim tanpa argumen. Klaim tanpa argumen selain tidak memiliki nilai tanggap, juga sebenarnya sering berpotensi menimbulkan suasana diskusi yang tidak konstruktif.
2. Mintalah klarifikasi bila ada hal-hal yang kurang jelas dalam sebuah tulisan. Permintaan klarifikasi sama sekali tidak mengindikasikan “kelemahan”. Permintaan klarifikasi sangat diperlukan supaya kita tidak melakukan misinterpretasi yang mengakibatkan kita memberikan komentar yang straw man (salah kaprah). Dan untuk kepentingan ini, seorang penulis wajib memberikan klarifikasi bagi mereka yang memintanya. Setelah pihak peminta klarifikasi sudah mendapatkan kejelasan, barulah diskusi atau pertukaran komentar yang lebih tajam bisa dilakukan.
3. Bertukar komentar secara runut. Pertukaran komentar adalah sebuah interaksi yang wajar. Hal itu terjadi dalam topik apa pun, entah itu ringan atau berat, kontroversial atau tidak kontroversial. Itulah sebabnya, bertukar komentar secara runut merupakan sebuah keharusan logis di mana komentar-komentar dari kita sebagai pembaca benar-benar menyentuh secara langsung klaim serta argumen si penulis. Demikian pula balasan komentar dari penulis mestinya fokus untuk memberikan bantahan atau arahan atau penegasan atau persetujuan yang sesuai dengan isi komentar dari para komentator.
Berdasarkan sejumlah pengalaman, saya menganjurkan bila kita tak punya argumen bantahan atau yang bersifat afirmatif terhadap klaim dan argumen penulis, langkah yang paling aman adalah tak usah berkomentar. Mungkin saja ada penekanan-penekanan tertentu dari penulis yang kurang sreg di hati kita namun karena kita belum dapat memformulasi tanggapan yang mengena terhadapnya, kita menahan diri untuk mendiamkannya sampai kita dapat memformulasi tanggapan tersebut dengan baik.
4. Bila ingin tetap berkomentar walau bukan berupa argumen, berikanlah komentar yang bernilai kekerabatan. Sering kali saya mampir di lapak-lapak tertentu tanpa argumen dan sekadar memberikan icon senyum atau mengucapkan salam atau memberikan apresiasi dan dorongan untuk terus menulis. Dan saya melihat bahwa komentar-komentar semacam ini memiliki daya pikat psikologis yang besar. Saya percaya tak ada seorang pun yang waras yang akan marah-marah terhadap kita jika kita mampir dan memberikan komentar dalam beberapa bentuk yang saya singgung di atas. Sebaliknya, suasana keakraban akan tercipta secara perlahan bakan makin intens.
5. Hindarilah memberikan komentar yang sesat pikir. Sangat banyak jenis dan bentuk sesat pikir dalam prinsip-prinsip penalaran (logika). Dan kita mungkin tidak mengetahui atau mengenal semuanya. Tetapi, yang paling umum dilakukan, menurut pengalaman saya adalah: a) red herring fallacy (pengalihan atau perluasan isu); b) straw man fallacy (misinterpretasi dan serangan berbasis misinterpretasi tersebut); c) argumentum ad hominem (arah komentar atau serangan ditujukan kepada pribadi seseorang, mis. kata-kata kasar yang tidak relevan dengan isu yang sedang dibahas); d) argumentum ad nauseam (mengulang-ulang komentar yang isinya sudah dibantah sebelumnya); dan e) appeal to motive fallacy (seseorang menanggapi argumen lawan dengan merujuk kepada motifnya; saya sudah menulis tiga artikel mengenai sesat pikir ini di akun saya). Anda bisa menambahkan lagi daftar sesat pikir yang paling sering Anda temui. Intinya adalah, kita tidak boleh melakukan sesat pikir.
Bagaimana jika kita melakukannya entah sengaja atau tidak sengaja? Sebelum menjawab pertanyaan ini, saya perlu menegaskan bahwa ketika seseorang melabeli argumen atau komentar kita sebagai sebuah sesat pikir, itu harus dilakukan dengan alasan-alasan (argumen-argumen). Jadi kita tidak boleh sekadar menyatakan: “Anda melakukan sesat pikir ini atau itu” tanpa memperlihatkan alasan mengapa kita mengidentifikasinya demikian.
Selain itu, kita juga harus ingat bahwa sesat pikir merupakan penyimpangan dari penalaran yang logis. Penalaran yang logis merupakan cara pemanfaatan akal budi yang diberikan Tuhan secara bertanggung jawab. Artinya, melakukan sesat pikir berarti melakukan penyimpangan dari koridor bernalar yang seharusnya. Maka jangan pernah menganggap sepele sesat pikir seakan-akan “Gak apa-apa saya dibilang sesat pikir sama ente. Itu hanya menurut ente koq“. Reaksi seperti ini memperlihatkan betapa kita tidak memahami bahwa logika (hukum-hukum penalaran yang sehat) merupakan sesuatu yang bersifat universal. Alangkah anehnya bila seseorang masih terus bersenang-senang dengan dirinya bahkan bersenang-senang atas sesat pikir yang dilakukannya.
Kembali kepada pertanyaan di atas. Bila kita teridentifikasi melakukan sesat pikir, ada dua hal penting yang perlu dilakukan: a) mencermati dengan saksama apakah identifikasi sesat pikir yang ditujukan kepada kita itu tepat atau tidak. Artinya kita memiliki hak jawab untuk mengklarifikasi benar atau tidaknya identitifikasi tu, tentunya atas argumen-argumen yang kuat; b) bila memang benar kita melakukan sesat pikir, kebesaran hati untuk menerima identifikasi itu serta memperbaikinya merupakan langkah terbijak yang dapat kita tempuh. Justru, dengan melakukan hal yang terakhir ini, lawan diskusi akan melihat bahwa kita adalah orang yang berintegritas.
Sebaliknya yang terjadi adalah ketika seseorang diidentifikasi melakukan sesat pikir, ia mulai memperlihatkan ketersinggungannya dengan komentar-komentar sarkastik dan tajam dan ngotot. Sikap seperti inilah yang sering kali merusak diskusi dan membawanya ke arah yang tidak edukatif sama sekali. Ingatlah, diskusi itu bukan hanya soal menang dan kalah. Yang lebih penting adalah integritas dan nilai-nilai edukatif yang bisa kita pelajari atau yang bisa kita bagikan melalui diskusi tersebut.
Saling menghormati dan menghargai, walau dalam suasana pertukaran argumen yang ketat, akan tetap mempertahankan suasana diskusi yang sehat dan elegan serta edukatif bagi para pembaca.
5. Ketahuilah kapan harus berhenti dan atau meneruskan diskusi. Seperti yang sudah saya kemukakan di atas, diskusi itu bukan soal menang dan kalah. Bahkan saya melihat, ada kompasianers yang terus menerus berkomentar bernada debat tanpa “isi” sama sekali seakan-akan dia berpikir bahwa dia benar jika dialah yang paling akhir memberikan komentar. Hal yang paling baik untuk dimiliki adalah kemampuan melihat situasi diskusi sehingga kita bisa memutuskan kapan kita harus berhenti atau meneruskan diskusi.
Dalam pengalaman saya, indikator terbaik untuk menghentikan sebuah diskusi adalah: a) suasana yang mulai tidak kondusif; dan b) saya sudah mempresentasikan semua argumen saya dengan jelas. Kadang-kadang, saya belum memberikan semua argumen yang dapat saya berikan namun karena suasana yang mulai tidak kondusif, saya memutuskan untuk berhenti berkomentar. Namun, bila masih memungkinkan, saya akan memberikan argumen-argumen tersebut hingga jelas dipahami oleh lawan diskusi.
Setelah mempresentasikan semua argumen kita dengan jelas, memang sebaiknya kita tidak perlu lagi ngotot. Karena diskusi, sekali lagi bukan hanya soal menang dan kalah, melainkan juga soal kesempatan untuk membagikan argumen-argumen terbaik yang kita miliki secara jelas kepada lawan diskusi.
6. Pertahankan sikap kritis tanpa merusak pertemanan. Kadang-kadang orang, demi mempertahankan sikap kritis, agak menarik diri dari suasana pertemanan yang akrab. Alasannya adalah kalau sudah sangat dekat, biasanya kita tidak terlalu bersikap kritis lagi ketika itu diperlukan. Saya melihat ada sisi positif dari sikap ini.
Secara pribadi, saya memiliki cara pandang yang sedikit berbeda. Bagi saya pertemanan adalah pertemanan dan sikap kritis adalah sikap kritis. Saya dapat mengkritik teman akrab saya tanpa harus merusak pertemanan saya. Tentunya itu dilakukan dengan tegas namun juga dengan memberikan penegasan lain bahwa kritikan itu tidak perlu merusak relasi yang sudah ada. Seorang teman akrab saya di kantor pun, sering kali mengkritik saya dengan tajam atau bahkan untuk kasus-kasus tertentu, mis. paper akademis, saya meminta kritikannya yang objektif terhadap tulisan-tulisan saya. Dan kami masih berteman akrab hingga sekarang.
Oleh karena itu, cara yang berhikmat saat memberikan komentar kritis, khususnya terhadap teman atau kerabat, memang sangat diperlukan. Sehingga kritikan itu tidak merusak relasi, dan kita pun tetap memiliki ruang kritis bahkan bagi mereka yang terdekat sekalipun.
Demikianlah beberapa hal praktis yang menurut saya perlu diperhatikan saat kita bertukar komentar. Anda mungkin memiliki pokok-pokok lainnya yang belum saya kemukakan di atas. Bila itu baik dan membantu dalam menjaga suasana kekerabatan dan persahabatan, intinya suasana positif dalam berinteraksi di Kompasiana, silakan dipraktikkan.
Semoga bermanfaat; Selamat malam; Salam Kompasiana.
Semua yang akan saya kemukakan berikut ini, semata-mata didasarkan atas pengalaman atau pun berdasarkan pertimbangan logis. Termasuk juga, ini bukan merupakan daftar lengkap dari hal-hal praktis yang perlu diperhatikan saat bertukar komentar.
1. Baca dan pahamilah klaim serta argumen-argumen penulis berkait isu spesifik yang dibahas dalam sebuah lapak. Sebuah tulisan yang baik, khususnya yang berbentuk opini, sudah seharusnya berisi minimal sebuah klaim yang disertai argumen-argumen. Klaim adalah sebuah kalimat proposisional yang berposisi sebagai kesimpulan. Sementara argumen adalah kalimat-kalimat proposisional yang berfungsi sebagai alasan-alasan bagi kesimpulan tersebut. Dalam bentuknya yang formal, sebuah klaim atau kesimpulan biasanya ditandai dengan kata: “karena itu” atau “dengan demikian”. Sementara argumen-argumen, biasanya disertai dengan: “karena” atau “sebab”. Kadang-kadang seorang penulis tidak memberikan clue berupa kata-kata di atas. Dan bila demikian, kita mesti lebih teliti lagi mengidentifikasi mana yang merupakan klaim dan mana yang merupakan argumennya.
Perlu diingat bahwa aspek paling penting yang seharusnya kita tanggapi adalah argumen-argumen, bukan klaim. Itulah sebabnya, baik penulis maupun komentator seharusnya tidak sekadar melontarkan klaim tanpa argumen. Klaim tanpa argumen selain tidak memiliki nilai tanggap, juga sebenarnya sering berpotensi menimbulkan suasana diskusi yang tidak konstruktif.
2. Mintalah klarifikasi bila ada hal-hal yang kurang jelas dalam sebuah tulisan. Permintaan klarifikasi sama sekali tidak mengindikasikan “kelemahan”. Permintaan klarifikasi sangat diperlukan supaya kita tidak melakukan misinterpretasi yang mengakibatkan kita memberikan komentar yang straw man (salah kaprah). Dan untuk kepentingan ini, seorang penulis wajib memberikan klarifikasi bagi mereka yang memintanya. Setelah pihak peminta klarifikasi sudah mendapatkan kejelasan, barulah diskusi atau pertukaran komentar yang lebih tajam bisa dilakukan.
3. Bertukar komentar secara runut. Pertukaran komentar adalah sebuah interaksi yang wajar. Hal itu terjadi dalam topik apa pun, entah itu ringan atau berat, kontroversial atau tidak kontroversial. Itulah sebabnya, bertukar komentar secara runut merupakan sebuah keharusan logis di mana komentar-komentar dari kita sebagai pembaca benar-benar menyentuh secara langsung klaim serta argumen si penulis. Demikian pula balasan komentar dari penulis mestinya fokus untuk memberikan bantahan atau arahan atau penegasan atau persetujuan yang sesuai dengan isi komentar dari para komentator.
Berdasarkan sejumlah pengalaman, saya menganjurkan bila kita tak punya argumen bantahan atau yang bersifat afirmatif terhadap klaim dan argumen penulis, langkah yang paling aman adalah tak usah berkomentar. Mungkin saja ada penekanan-penekanan tertentu dari penulis yang kurang sreg di hati kita namun karena kita belum dapat memformulasi tanggapan yang mengena terhadapnya, kita menahan diri untuk mendiamkannya sampai kita dapat memformulasi tanggapan tersebut dengan baik.
4. Bila ingin tetap berkomentar walau bukan berupa argumen, berikanlah komentar yang bernilai kekerabatan. Sering kali saya mampir di lapak-lapak tertentu tanpa argumen dan sekadar memberikan icon senyum atau mengucapkan salam atau memberikan apresiasi dan dorongan untuk terus menulis. Dan saya melihat bahwa komentar-komentar semacam ini memiliki daya pikat psikologis yang besar. Saya percaya tak ada seorang pun yang waras yang akan marah-marah terhadap kita jika kita mampir dan memberikan komentar dalam beberapa bentuk yang saya singgung di atas. Sebaliknya, suasana keakraban akan tercipta secara perlahan bakan makin intens.
5. Hindarilah memberikan komentar yang sesat pikir. Sangat banyak jenis dan bentuk sesat pikir dalam prinsip-prinsip penalaran (logika). Dan kita mungkin tidak mengetahui atau mengenal semuanya. Tetapi, yang paling umum dilakukan, menurut pengalaman saya adalah: a) red herring fallacy (pengalihan atau perluasan isu); b) straw man fallacy (misinterpretasi dan serangan berbasis misinterpretasi tersebut); c) argumentum ad hominem (arah komentar atau serangan ditujukan kepada pribadi seseorang, mis. kata-kata kasar yang tidak relevan dengan isu yang sedang dibahas); d) argumentum ad nauseam (mengulang-ulang komentar yang isinya sudah dibantah sebelumnya); dan e) appeal to motive fallacy (seseorang menanggapi argumen lawan dengan merujuk kepada motifnya; saya sudah menulis tiga artikel mengenai sesat pikir ini di akun saya). Anda bisa menambahkan lagi daftar sesat pikir yang paling sering Anda temui. Intinya adalah, kita tidak boleh melakukan sesat pikir.
Bagaimana jika kita melakukannya entah sengaja atau tidak sengaja? Sebelum menjawab pertanyaan ini, saya perlu menegaskan bahwa ketika seseorang melabeli argumen atau komentar kita sebagai sebuah sesat pikir, itu harus dilakukan dengan alasan-alasan (argumen-argumen). Jadi kita tidak boleh sekadar menyatakan: “Anda melakukan sesat pikir ini atau itu” tanpa memperlihatkan alasan mengapa kita mengidentifikasinya demikian.
Selain itu, kita juga harus ingat bahwa sesat pikir merupakan penyimpangan dari penalaran yang logis. Penalaran yang logis merupakan cara pemanfaatan akal budi yang diberikan Tuhan secara bertanggung jawab. Artinya, melakukan sesat pikir berarti melakukan penyimpangan dari koridor bernalar yang seharusnya. Maka jangan pernah menganggap sepele sesat pikir seakan-akan “Gak apa-apa saya dibilang sesat pikir sama ente. Itu hanya menurut ente koq“. Reaksi seperti ini memperlihatkan betapa kita tidak memahami bahwa logika (hukum-hukum penalaran yang sehat) merupakan sesuatu yang bersifat universal. Alangkah anehnya bila seseorang masih terus bersenang-senang dengan dirinya bahkan bersenang-senang atas sesat pikir yang dilakukannya.
Kembali kepada pertanyaan di atas. Bila kita teridentifikasi melakukan sesat pikir, ada dua hal penting yang perlu dilakukan: a) mencermati dengan saksama apakah identifikasi sesat pikir yang ditujukan kepada kita itu tepat atau tidak. Artinya kita memiliki hak jawab untuk mengklarifikasi benar atau tidaknya identitifikasi tu, tentunya atas argumen-argumen yang kuat; b) bila memang benar kita melakukan sesat pikir, kebesaran hati untuk menerima identifikasi itu serta memperbaikinya merupakan langkah terbijak yang dapat kita tempuh. Justru, dengan melakukan hal yang terakhir ini, lawan diskusi akan melihat bahwa kita adalah orang yang berintegritas.
Sebaliknya yang terjadi adalah ketika seseorang diidentifikasi melakukan sesat pikir, ia mulai memperlihatkan ketersinggungannya dengan komentar-komentar sarkastik dan tajam dan ngotot. Sikap seperti inilah yang sering kali merusak diskusi dan membawanya ke arah yang tidak edukatif sama sekali. Ingatlah, diskusi itu bukan hanya soal menang dan kalah. Yang lebih penting adalah integritas dan nilai-nilai edukatif yang bisa kita pelajari atau yang bisa kita bagikan melalui diskusi tersebut.
Saling menghormati dan menghargai, walau dalam suasana pertukaran argumen yang ketat, akan tetap mempertahankan suasana diskusi yang sehat dan elegan serta edukatif bagi para pembaca.
5. Ketahuilah kapan harus berhenti dan atau meneruskan diskusi. Seperti yang sudah saya kemukakan di atas, diskusi itu bukan soal menang dan kalah. Bahkan saya melihat, ada kompasianers yang terus menerus berkomentar bernada debat tanpa “isi” sama sekali seakan-akan dia berpikir bahwa dia benar jika dialah yang paling akhir memberikan komentar. Hal yang paling baik untuk dimiliki adalah kemampuan melihat situasi diskusi sehingga kita bisa memutuskan kapan kita harus berhenti atau meneruskan diskusi.
Dalam pengalaman saya, indikator terbaik untuk menghentikan sebuah diskusi adalah: a) suasana yang mulai tidak kondusif; dan b) saya sudah mempresentasikan semua argumen saya dengan jelas. Kadang-kadang, saya belum memberikan semua argumen yang dapat saya berikan namun karena suasana yang mulai tidak kondusif, saya memutuskan untuk berhenti berkomentar. Namun, bila masih memungkinkan, saya akan memberikan argumen-argumen tersebut hingga jelas dipahami oleh lawan diskusi.
Setelah mempresentasikan semua argumen kita dengan jelas, memang sebaiknya kita tidak perlu lagi ngotot. Karena diskusi, sekali lagi bukan hanya soal menang dan kalah, melainkan juga soal kesempatan untuk membagikan argumen-argumen terbaik yang kita miliki secara jelas kepada lawan diskusi.
6. Pertahankan sikap kritis tanpa merusak pertemanan. Kadang-kadang orang, demi mempertahankan sikap kritis, agak menarik diri dari suasana pertemanan yang akrab. Alasannya adalah kalau sudah sangat dekat, biasanya kita tidak terlalu bersikap kritis lagi ketika itu diperlukan. Saya melihat ada sisi positif dari sikap ini.
Secara pribadi, saya memiliki cara pandang yang sedikit berbeda. Bagi saya pertemanan adalah pertemanan dan sikap kritis adalah sikap kritis. Saya dapat mengkritik teman akrab saya tanpa harus merusak pertemanan saya. Tentunya itu dilakukan dengan tegas namun juga dengan memberikan penegasan lain bahwa kritikan itu tidak perlu merusak relasi yang sudah ada. Seorang teman akrab saya di kantor pun, sering kali mengkritik saya dengan tajam atau bahkan untuk kasus-kasus tertentu, mis. paper akademis, saya meminta kritikannya yang objektif terhadap tulisan-tulisan saya. Dan kami masih berteman akrab hingga sekarang.
Oleh karena itu, cara yang berhikmat saat memberikan komentar kritis, khususnya terhadap teman atau kerabat, memang sangat diperlukan. Sehingga kritikan itu tidak merusak relasi, dan kita pun tetap memiliki ruang kritis bahkan bagi mereka yang terdekat sekalipun.
Demikianlah beberapa hal praktis yang menurut saya perlu diperhatikan saat kita bertukar komentar. Anda mungkin memiliki pokok-pokok lainnya yang belum saya kemukakan di atas. Bila itu baik dan membantu dalam menjaga suasana kekerabatan dan persahabatan, intinya suasana positif dalam berinteraksi di Kompasiana, silakan dipraktikkan.
Semoga bermanfaat; Selamat malam; Salam Kompasiana.