Posted by : Unknown Minggu, 07 Desember 2014

Sarkasme adalah suatu majas yang dimaksudkan untuk menyindir, atau menyinggung seseorang atau sesuatu. Sarkasme dapat berupa penghinaan yang mengekspresikan rasa kesal dan marah dengan menggunakan kata-kata kasar. Majas ini dapat melukai perasaan seseorang (sumber)
  Dari sudut pandang psikologis, seperti yang tergambar di atas, berhadapan dengan komentar-komentar sarkastik memang tidak menyenangkan. Karena tidak menyenangkan, komentar-komentar jenis ini sangat rentan memicu pertukaran komentar yang pada akhirnya melenceng dari isu yang dibahas. Bukan hanya itu, suasana diskusi pun dapat memanas dengan komentar-komentar yang ditujukan kepada pribadi.

Sarkasme itu sendiri sebenarnya adalah salah satu gaya bahasa (majas). Itulah sebabnya, bila kita membaca tulisan-tulisan kuno, misalnya tulisan dari para ahli retorika, penggunaan majas ini seringkali digunakan sebagai kendaraan dari pathos (elemen retoris yang mengacu kepada perasaan baik dari si retorikawan sendiri maupun para audiensnya) dan ethos (aspek etis dari si retorikawan atau pun para pendengarnya).

Meski demikian, hal pokok yang perlu selalu diingat adalah bahwa ia semata-mata merupakan bagian dari cara berbahasa. Ia merupakan gaya bahasa atau cara berbahasa, walau dapat menimbulkan efek “panas” pada pihak yang kepadanya gaya bahasa ini digunakan.

Sebelum melanjutkan, saya tidak ingin memberi kesan bahwa sarkasme sama sekali “haram”. Ia harus dilihat sebagai kekayaan berbahasa. Dalam taraf tertentu, bila ada alasan yang mendasarinya, penggunaan sarkasme bermanfaat dalam memperkuat upaya mendapatkan penerimaan dari pihak pendengar atau pembaca.

Meski demikian, yang ingin saya garisbawahi adalah bahwa sebagai cara berbahasa, ketika ia digunakan dalam sebuah komentar atau tulisan, kita tidak harus terpengaruh atau dipengaruhi olehnya. Kita tidak perlu membuang energi dan pikiran untuk membahas atau mempersoalkan cara bahasa tersebut, kecuali kalau kita melihat bahwa tidak ada alasan rasional yang melandasinya. Dalam taraf ini, kita dapat mengidentifikasinya sebagai sesat pikir (appeal to ridicule).

Dan karena kita tidak harus dipengaruhi olehnya, karena memang mayoritas sarkasme bukanlah argumen melainkan luapan emosi, maka langkah yang paling bijak menurut saya ketika kita berhadapan dengan komentar-komentar sarkastik, kita hanya perlu mengabaikannya dan fokus pada argumen-argumen yang terdapat dalam komentar tersebut.
Saya menyebutnya di atas sebagai “langkah yang paling bijak” karena saya percaya kita selalu menginginkan sebuah diskusi yang kondusif, terarah, runut, fokus, dan edukatif baik bagi kita sendiri maupun bagi para pembaca yang lain. Bila ini yang kita inginkan dalam sebuah pertukaran komentar, maka saya yakin kita dapat menahan diri untuk tidak terpancing membalas sarkasme dengan sarkasme.

Secara pribadi, saya sendiri tidak luput dari penggunaan sarkasme termasuk juga tidak luput dari terpengaruh untuk membalas sarkasme dengan sarkasme. Tetapi, seiring berjalannya waktu dan juga seiring makin banyak terlibat dalam diskusi, saya makin melihat minimnya manfaat untuk melakukan yang demikian.

Sarkasme tidak harus dibalas dengan sarkasme. Sarkasme justru dapat diredam dengan berfokus pada argumen-argumen. Demikian menurut saya.
Semoga bermanfaat bagi kita untuk selalu menciptakan suasana diskusi yang kondusif sebagaimana yang kita idamkan bersama.

Selamat pagi Indonesia; Salam Kompasiana!

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © The story - liuzh cules - Powered by Blogger - Designed by liuzh cules -